Menyentuh Istri Membatalkan Wudhu??

Oleh : Ust Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawi

Pertanyaan

Bagaimana hukum bersentuhan dengan isteri setelah berwudhu. Apakah membatalkan wudhu?

Maulana Bandar Lampung

Jawab:

Para ulama fikih berselisih pendapat tentang masalah ini sehingga terpolar menjadi berbagai pendapat yang cukup banyak. (Lihat Al-Majmu’ 2/34 Imam Nawawi). Di sini kami akan sebutkan tiga pendapat saja:

Pendapat Pertama: Menyentuh wanita membatalkan wudhu secara mutlak baik dengan syahwat atau tidak, tetapi kalau ada pembatasnya seperti kain, maka tidak membatalkan wudhu. Pendapat ini populer dalam madzhab Syafi’i. Pendapat berhujjah dengan berbagai argumen, yang paling masyhur dan kuat adalah firman Allah dalam surat An-Nisa’: 43.

أَوْ لاَمَسْتُم النِّسَآءَ

Atau kamu telah berjima’ dengan istri. (QS. An-Nisa’: 43).

Mereka mengartikan kata لاَمَسْتُمُ dalam ayat tersebut dengan menyentuh. (Lihat Al-Umm 1/30 oleh Imam Syafi’i dan Al-Majmu’ 2/35 oleh Imam Nawawi).

.

Pendapat Kedua: Menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu secara mutlak baik dengan syahwat maupun tidak berdasarkan beberapa dalil berikut:

  • Dalil Pertama:

Asal wudhu seorang adalah suci dan tidak batal sehingga ada dalil yang mengeluarkan dari hukum asalnya, sedangkan hal itu tidak ada, padahal kita ketahui bersama bahwa menyentuh isteri adalah suatu hal yang amat sering terjadi. Seandainya itu membatalkan wudhu, tentu Nabi n akan menjelaskan kepada umatnya dan masyhur di kalangan sahabat, tetapi tidak ada seorangpun dari kalangan sahabat yang berwudhu hanya karena sekedar menyentuh istrinya. (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 21/235).

  • Dalil Kedua:

Dari Aisyah d bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencium sebagian istrinya kemudian keluar menuju shalat dan tidak berwudhu lagi. Saya (Urwah) berkata: Tidaklah dia kecuali anda kan? Lalu Aisyah tertawa. (Shahih. Riwayat Tirmidzi: 86, Abu Dawud: 178, Nasa’i: 170, Ibnu Majah: 502 dan dishahihkan Al-Albani dalam Al-Misykah: 323. Lihat pembelaan hadits ini secara luas dalam At-Tamhid 8/504 Ibnu Abdil Barr dan Syarh Tirmidzi 1/135-138 Syaikh Ahmad Syakir).

Hadits ini menunjukkan bahwa menyentuh istri tidaklah membatalkan wudhu sekalipun dengan syahwat. Demikian ditegaskan oleh Syaikh Al-Allamah As-Sindi dalam Hasyiyah Sunan Nasa’i 1/104.

  • Dalil Ketiga:

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: Saya pernah tidur di depan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kedua kakiku berada di arah kiblatnya. Apabila beliau sujud maka beliau menyentuhku lalu sayapun mengangkat kedua kakiku, dan bila beliau berdiri, maka aku membentangkan kedua kakiku seperti semula. (Aisyah) berkata: “Rumah-rumah saat itu masih belum punya lampu”. (HR. Bukhari: 382 dan Muslim: 512).

Hadits ini menunjukkan bahwa menyentuh istri tidaklah membatalkan wudhu. Adapun takwil Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 1/638 bahwa kejadian di atas bisa jadi karena ada pembatasnya (kain) atau kekhususan bagi Nabi, maka takwil ini sangat jauh sekali dari kebenaran, menyelesihi dhahir hadits dan takalluf (menyusahkan diri). (Periksa Nailul Authar Asy-Syaukani 1/187, Subulus Salam As-Shan’ani 1/136, Tuhfatul Ahwadzi Al-Mubarakfuri 1/239, Syarh Tirmidzi Ahmad Syakir 1/142).

  • Dalil Keempat:

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Pada suatu malam saya pernah kehilangan Rasulullah n dari tempat tidur maka saya mencarinya lalu tanganku mengenai pada kedua punggung kakinya yang tegak, beliau shalat di masjid seraya berdoa: “Ya Allah saya berlindung dengan ridha-Mu dari kemurkaan-Mu…”. (HR. Muslim: 486).

Hadits ini menunjukkan bahwa istri menyentuh suami tidaklah membatalkan wudhu. Adapun takwil Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim 4/152 bahwa kejadian tersebut bisa jadi karena ada pembatas kainnya, maka menyelisihi dhahir hadits. (Lihat At-Tamhid 8/501 Ibnu Abdil Barr dan Tafsir Al-Qurthubi 5/146).

  • Dalil Kelima:

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Pernah Rasulullah n melakukan shalat sedangkan saya tidur terbentang di depannya layaknya jenazah sehingga apabila beliau ingin melakukan witir, maka beliau menyentuhku dengan kakinya”.

(HR. Nasai 1/102/167. Imam Za’ilai berkata: “Sanadnya shahih menurut syarat shahih dan dishahihkan Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ 2/35).

Hadits ini menunjukkan bahwa menyentuh wanita tidaklah membatalkan wudhu dengan kaki atau anggota badan lainnya. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam At-Talkhis hal. 48: “Sanadnya shahih, hadits ini dijadikan dalil bahwa makna “Laamastum” dalam ayat adalah jima’ (berhubungan) karena Nabi menyentuh Aisyah dalam shalat lalu beliau tetap melanjutkan (tanpa wudhu lagi –pent)”.

.

Pendapat Ketiga:

Memerinci:

  • Batal wudhunya apabila menyentuh wanita dengan syahwat, dan
  • Tidak batal apabila tidak dengan syahwat.

Dalil mereka sama seperti pendapat kedua, tetapi mereka membedakan demikian dengan alasan

“Memang asal menyentuh tidak membatalkan wudhu, tetapi menyentuh dengan syahwat menyebabkan keluarnya air madhi dan mani, maka hukumnya membatalkan”.

(Lihat Al-Mughni 1/260 Ibnu Qudamah).

Pendapat yang rajih (kuat) adalah pendapat kedua yaitu

Menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu baik dengan syahwat ataupun tidak, kecuali apabila mengeluarkan air mani dan madhi maka batal wudhunya

Atau minimal adalah pendapat ketiga.

Adapun pendapat pertama, maka sangat lemah sekali karena maksud ayat tersebut adalah jima’ berdasarkan argumen sebagai berikut:

  1. Salah satu makna kata لَمَسَ dalam bahasa Arab adalah jima’ (Al-Qamus Al-Mukhith Al-Fairuz Abadi 2/259).
  2. Para pakar ahli tafsir telah menafsirkan ayat tersebut dengan jima’ diantaranya adalah sahabat mulia, penafsir ulung yang dido’akan Nabi, Abdullah bin Abbas, demikian pula Ali bin Abi Thalib, Ubai bin Ka’ab, Mujahid, Thawus, Hasan Al-Bashri, Ubaid bin Umair, Said bin Jubair, Sya’bi, Qotadah, Muqatil bi Hayyan dan lainnya. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 1/550). Pendapat ini juga dikuatkan Syaikh ahli tafsir, Ibnu Jarir dalam Tafsirnya 5/102-103 dan Imam Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid
  3. Mengkompromikan antara ayat tersebut dengan hadits-hadits shahih di atas yang menegaskan bahwa Rasulullah n menyentuh bahkan mencium istrinya (Aisyah) dan beliau tidak berwudhu lagi.
  4. Imam Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhid 8/506 dan Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam At-Talkhis menukil dari Imam Syafi’i bahwa beliau berkata: “Seandainya hadits Aisyah tentang mencium itu shahih, maka madzhab kita adalah hadits Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam”. Perkataan serupa juga dikatakan oleh Imam Al-Baihaqi, pejuang madzbab Syafi’i. Hal ini menunjukkan bahwa kedua imam tersebut tidak menetapkan bahwa maksud لاَمَسْتُم dalam ayat tersebut bermakna “Menyentuh” karena keduanya menegaskan seandanya hadits Aisyah shahih, maka beliau berdua berpendapat mengikuti hadits. Seandainya kedua imam tersebut berpendapat seperti hadits, maka mau gak mau harus menafsirkan ayat tersebut bermakna “jima” sebagaimana penafsiran yang shahih. (Syarh Tirmidzi 1/141 oleh Syaikh Ahmad Syakir).

Demikianlah jawaban yang kami yakini berdasarkan dalil-dalil yang shahih, bukan fanatik madzhab dan mengikuti apa kata banyak orang. Semoga Allah menambahkan ilmu dan memberikan keteguhan kepada kita. Wallahu A’lam.

Sumber : www.abiubaidah.com

Diupload kembali oleh :

http://www.wahonot.wordpress.com

Kunjungi blog kami yang lain :

http://www.tokoherbalonline.wordpress.com

http://www.pustakaalbayaty.wordpress.com

About wahonot

I a salafy man

Posted on Desember 17, 2009, in Fikh, keluarga, Muslimah and tagged , , , , , . Bookmark the permalink. 10 Komentar.

  1. Selama masih isteri sah2 aja kan…

  2. islam datang untuk mengatur kehidupan agar hidup ini
    lebih mulia di depan Alloh.bukan mempersulit ummat

    ribet dong yang telah dihalalkan membatalkan wudlu.padahal orang yang paling dekat dengan kita.adalah istri, kembalikan aja ke SUNNAH

    A:LLOHU AKBAR

  3. Assalamu’alaikum wr. wb.
    Jadi dengan beberapa dalil tersebut saya tidak ragu lagi bahwa menyentuh istri tidak membatalkan wudlu, walaupun saya berwudlu karena kebiasaan saja dari hasil pendidikan pada waktu kecil.

  4. alhamdulillah, memang begitulah seharusnya
    karenaistri adalah orang terdekat kita, lagian
    istri merupakan pasangan halal kita. jika bersentuhan
    dilarang sungguh memberatkan sekali. bagai mana
    nasib orang yang berhaji .

    saya harap hal ini lebih di sosialisasikan kepada
    masyarakat islam, karena banyak yang beragama
    tanpa ilmu , hanya mendengar pendapat si A si B
    bukan berdasar sunah yang jelas.

  5. hallo bloger, saya bloger baru!!!
    tolong ajarin saya ia?
    http://adedoank8.wordpress.com/

  6. Subhanallah..makasih ya untuk infonya..sangat bermanfaat sekali buat saya. Salam kenal dan mampir balik ya

  7. Asslmkm, ana ikhwan yang sudah berkeluarga, baru saja pindah kerja di Malang, sedang mencari kontrakan di daerah Malang yang tidak terlalu jauh dengan Griya Santha / Univ Brawijaya. Bagi Ikhwan / akhwat yang punya info, mohon kirim informasinya ke mambamaestro[at]yahoo.com ([at] diganti @).

    Syukron,
    Much. Aly mBA, S.Kom

  8. alhamdulillah dengan adanya bacaan diatas berarti tdk batal dengan meyentuh suami, makasih pak atas keterangannya

Tinggalkan komentar