Hukum Upacara Peringatan Malam Nisfi Sya’ban
Oleh : Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Segala puji hanyalah bagi Allah yang telah menyempurnakan agama-Nya bagi kita, dan mencukupkan nikmat-Nya kepada kita, semoga shalawat dan salam selalu dilimpahkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam pengajak ke pintu tobat dan pembawa rahmat.
Amma ba’du:
Sesungguhnya Allah telah berfirman:
“Artinya : Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Kuridhoi Islam sebagai agama bagimu.” [Al-Maidah :3]
“Artinya : Apakah mereka mempunyai sesembahan-sesembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diridhoi Allah? Sekirannya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka sudah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zhalim itu akan memperoleh adzab yang pedih.” [Asy-Syura’ : 21]
Dari Aisyah radhiallahu ‘anha dari Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda, “Barangsiapa mengada-adakan suatu perkara (dalam agama) yang sebelumnya belum pernah ada, maka ia tertolak.”
Dalam lafazh Muslim: “Barangsiapa mengerjakan perbuatan yang tidak kami perintahkan (dalam agama), maka ia tertolak.”
Dalam Shahih Muslim dari Jabir radhiallahu ‘anhu bahwasanya Nabi pernah bersabda dalam khutbah Jum’at: Amma ba’du, sesungguhnya sebaik- baik perkataan adalah Kitab Allah (Al-Qur’an), dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam, dan sejahat-jahat perbuatan (dalam agama) ialah yang diada-adakan, dan setiap bid’ah (yang diada-adakan) itu adalah sesat.”
Masih banyak lagi hadits-hadits yang senada dengan hadits ini, hal mana semuanya menunjukkan dengan jelas, bahwasanya Allah telah menyempurnakan agama ini untuk umat-Nya. Dia telah mencukupkan nikmat- Nya bagi mereka; Dia tidak mewafatkan Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam kecuali sesudah beliau menyelesaikan tugas penyampaian risalahnya kepada umat dan menjelaskan kepada mereka seluruh syariat Allah, baik melalui ucapan maupun pengamalan. Beliau menjelaskan segala sesuatu yang akan diada-adakan oleh sekelompok manusia sepeninggalnya dan dinisbahkan kepada ajaran Islam baik berupa ucapan maupun perbuatan, semuanya itu bid’ah yang tertolak, meskipun niatnya baik. Para shahabat dan ulama’ mengetahui hal ini, maka mengingkari perbuatan-perbuatan bid’ah dan memperingatkan kita darinya. Hal itu disebutkan oleh mereka yang mengarang tentang pengagungan sunnah dan pengingkaran bid’ah, seperti Ibnu Wadhdhoh Ath Tharthusyi dan Abu Syaamah dan lain sebagainya.
Di antara bid’ah yang biasa dilakukan oleh banyak orang ialah bid’ah mengadakan upacara peringatan malam Nisfu Sya’ban dan mengkhususkan pada hari tersebut dengan puasa tertentu. Padahal tidak ada satupun dalil yang dapat dijadikan sandaran, ada hadist-hadits tentang fadhilah malam tersebut tetapi hadits-hadits tersebut dlaif sehingga tidak dapat dijadikan landasan. Adapun hadits-hadits yang berkenaan dengan keutamaan shalat pada hari itu adalah maudhu’. Dalam hal ini, banyak di antara para ‘ulama yang menyebutkan tentang lemahnya hadits-hadits yang berkenaan dengan pengkhususan puasa dan fadhilah shalat pada hari Nisfu Sya’ban, selanjutnya akan kami sebutkan sebagian dari ucapan mereka. Pendapat para ahli Syam di antaranya Hafizh Ibnu Rajab dalam bukunya “Lathaiful Ma’arif” mengatakan bahwa perayaan malam Nisfu Sya’ban adalah bid’ah dan hadits-hadits yang menerangkan keutamaannya lemah. Hadits-hadits lemah bisa diamalkan dalam ibadah jika asalnya didukung oleh hadits-hadits shahih, sedangkan upacara perayaan malam Nisfu Sya’ban tidak ada dasar hadits yang shahih sehingga tidak bisa didukung dengan dalil hadits- hadits dhaif. Ibnu Taimiyah telah menyebutkan kaidah ini dan kami akan menukil pendapat para ahli ilmu kepada sidang pembaca sehingga masalahnya menjadi jelas; para ulama’ telah bersepakat bahwa merupakan suatu keharusan untuk mengembalikan segala apa yang diperselisihkan manusia kepada Kitab Allah (Al-Qur’an) dan Sunnan Rasul (Al-Hadits), apa saja yang telah digariskan hukumnya oleh keduanya atau salah satu daripadanya, maka wajib diikuti dan apa saja yang bertentangan dengan keduanya maka harus ditinggalkan, serta segala sesuatu amalan ibadah yang belum pernah disebutkan adalah bid’ah; tidak boleh dikerjakan apabila mengajak untuk mengerjakannya atau memujinya.
Allah berfirman dalam surat An-Nisaa’:
“Artinya : Hai orang-orang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan Ulil Amri (pemimpin-pemimpin) di antara kamu, maka jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnah) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” [An-Nisaa’: 59]
“Artinya : Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka keputusannya (terserah) kepada Allah (yang mempunyai sifat-sifat demikian) itulah Tuhanku. Kepada-Nyala aku bertawakkal dan kepada-Nyalah aku kembali.” [Asy-Syuraa: 10]
“Artinya : Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa sesuatu keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima sepenuhnya.” [An-Nisaa’ : 65]
Dan masih banyak lagi ayat-ayat Al-Qur’an yang semakna dengan ayat- ayat di atas, ia merupakan nash atau ketentuan hukum yang mewajibkan agar supaya masalah-masalah yang diperselisihkan itu dikembalikan kepada Al-Qur’an dan Hadits, selain mewajibkan kita agar rela terhadap hukum yang ditetapkan oleh keduanya (Al-Qur’an dan Hadits).
Demikianlah yang dikehendaki oleh Islam, dan merupakan perbuatan baik bagi seorang hamba terhadap Tuhannya, baik di dunia atau di akherat nanti, sehingga pastilah ia akan menerima balasan yang setimpal.
Dalam pembicaraan masalah malam Nisfu Sya’ban Ibnu Rajab berkata dalam bukunya “Lathaiful Ma’arif”, “Para Tabi’in dari ahli Syam (Syiria, sekarang) seperti Khalid bin Ma’daan, Makhul, Luqman dan lainnya pernah mengagung-agungkan dan berijtihad melakukan ibadah pada malam Nisfu Sya’ban kemudian orang- orang berikutnya mengambil keutamaan dan pengagungan itu dari mereka.
Dikatakan bahwa mereka melakukan perbuatan demikian itu karena adanya cerita-cerita israiliyat, tatkala masalah itu tersebar ke penjuru dunia, berselisihlah kaum muslimin; ada yang menerima dan menyetujuinya ada juga yang mengingkarinya. Golongan yang menerima adalah Ahli Bashrah dan lainnya sedang golongan yang mengingkarinya adalah mayoritas ulama Hijaz (Saudi Arabia, sekarang), seperti Atha’ dan Ibnu Abi Malikah dan dinukil oleh Abdurrahman bin Zaid bi Aslam dari fuqaha’ Madinah, yaitu ucapan Ashhabu Malik dan lain-lainnya. Mereka mengatakan bahwa semua perbuatan itu bid’ah. Adapun pendapat ulama’ ahli Syam berbeda dalam pelaksanaannya dengan dua pendapat:
[1]. Menghidup-hidupkan malam Nisfu Sya’ban dalam masjid dengan berjamah adalah mustahab (disukai Allah). Dahulu Khalid bin Ma’daan dan Luqman bin Amir memperingati malam tersebut dengan memakai pakaian paling baru dan mewah, membakar menyan, memakai celak dan mereka bangun malam menjalankan shalatul lail di masjid. Ini disetujui
oleh Ishaq bin Ruhwiyah, ia berkata: “Menjalankan ibadah di masjid pada malam itu secara jamaah tidak bid’ah.” Hal ini dicuplik oleh Harbu Al-Kirmany.
[2]. Berkumpulnya manusia pada malam Nisfu Sya’ban di masjid untuk shalat, bercerita dan berdo’a adalah makruh hukumnya, tetapi boleh jika menjalankan shalat khusus untuk dirinya sendiri. Ini pendapat Auza’iy Imam Ahlu Syam, sebagai ahli fiqh dan cendekiawan mereka. Insya Allah pendapat inilah yang mendekati kebenaran, sedangkanpendapat Imam Ahmad tentang malam tentang malam Nisfu Sya’ban ini,tidak diketahui.”
Ada dua riwayat sebagai sebab cenderungnya diperingati malam Nisfu Sya’ban, dari antara dua riwayat yang menerangkan tentang dua malam hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha). Dalam satu riwayat berpendapat bahwa memperingati dua malam hari raya dengan berjamaah adalah tidak disunnahkan, karena hal itu belum pernah dikerjakan oleh Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabatnya. Riwayat lain berpendapat bahwa malam tersebut disunnahkan, karena Abdurrahman bin Yazid bin Aswad pernah mengerjakannya, dan ia termasuk tabi’in, begitu pula tentang malam Nisfu Sya’ban, Nabi belum pernah mengerjakannya atau menetapkannya, termasuk juga para sahabat, itu hanya
ketetapan dari golongan tabi’in ahli fiqih Syam. Demikian maksud dari Al-Hafizh Ibnu Rajab (semoga Allah melimpahkan rahmat kepadanya).
Ia mengomentari bahwa tidak ada suatu ketetapan pun tentang malam Nisfu Sya’ban ini, baik itu dari Nabi maupun dari para shahabat. Adapun pendapat Imam Auza’iy tentang bolehnya (istihbab) menjalankan shalat pada malam hari itu secara individu dan penukilan Al-Hafizh Ibnu Rajab dalam pendapatnya itu adalah gharib dan dhaif, karena segala perbuatan syariah yang belum pernah ditetapkan oleh dalil-dalil syar’iy, tidak boleh bagi seorang pun dari kaum muslimin mengada- adakannya dalam Islam, baik itu dikerjakan secara individu ataupun kolektif, baik itu dikerjakan secara sembunyi-sembunyi ataupun terang- terangan, sebab keumuman hadits Nabi:
“Barangsiapa mengerjakan suatu amalan (dalam agama) yang tidak kami perintahkan, maka ia tertolak.”
Dan banyak lagi hadits-hadits yang mengingkari perbuatan bid’ah dan memperingatkan agar dijauhi.
Imam Abubakar Ath-Thurthusyiy berkata dalam bukunya, “Al-Hawadits wal Bida”, “Diriwayatkan oelh Wadhdhah dari Zaid bin Aslam berkata: kami belum pernah melihat seorang pun dari sesepuh dan ahli fiqih kami yang menghadiri perayaan malam Nisfu Sya’ban, tidak mengindahkan hadits Makhul (dhaif) dan tidak pula memandang adanya keutamaan pada malam tersebut terhadap malam-malam lainnya. Dikatakan kepada Ibnu Malikah bahwasanya Ziad An Numairiy berkata: Pahala yang didapat (dari ibadah) pada malam Nisfu Sya’ban menyamai pahala Lailatul Qadar. Ibnu Malikah menjawab: Seandainya saya mendengarnya sedang di tangan saya ada tongkat, pasti saya pukul. Ziad adalah seorang penceramah. Al-‘Allaamah Syaukani menulis dalam bukunya, Al-Fawaaidul Majmu’ah, sebagai berikut: Hadits:
“Wahai Ali, barangsiapa melakukan shalat pada malam Nisfu Sya’ban sebanyak 100 rakaat; ia membaca setiap rakaat Al-Fatihah dan Qul Huwallahu Ahad sebanyak sepuluh kali, pasti Allah memenuhi segala kebutuhannya… dan seterusnya.”
Hadits ini adalah maudhu’, pada lafazh-lafazhnya menerangkan tentang pahala yang akan diterima oleh pelakunya adalah tidak diragukan kelemahannya bagi orang berakal, sedangkan sanadnya majhul (tidak dikenal). Hadits ini diriwayatkan dari jalan kedua dan ketiga, kesemuanya maudhu’ dan perawi-perawinya majhul.
Dalam kitab “Al Mukhtashar” Syaukani melanjutkan : Hadits yang menerangkan shalat Nisfu Sya’ban adalah batil. Ibnu Hibban meriwayatkan hadits dari Ali radhiallahu ‘anhu: Jika datang malam Nisfu Sya’ban bershalat malamlah dan berpuasalah pada siang harinya, adalah dhaif. Dalam buku Allaali’ diriwayatkan bahwa: Seratus rakaat dengan tulus ikhlas pada malam Nisfu Sya’ban adalah pahalanya sepuluh kali lipat. Hadits riwayat Ad Dailamiy,
hadits ini maudhu’ tetapi mayoritas perawinya pada jalan ketiga majhul dan dhaif (leman). Imam Syaukani berkata: Hadits yang menerangkan bahwa dua belas rakaat dengan tulus ikhlas pahalanya adalah tiga puluh kali lipat, maudhu’. Dan hadits empat belas rakaat … dan seterusnya adalah maudhu’ (tidakbisa diamalkan dan harus ditinggalkan, pent).
Para fuqaha’ banyak tertipu dengan hadits-hadits di atas, seperti pengarang Ihya’ Ulumuddin dan lainnya juga sebagian dari mufassirin. Telah diriwayatkan bahwa, shalat pada malam ini, yakni malam Nisfu Sya’ban yang telah tersebar ke seluruh pelosok dunia itu, semuanya adalah bathil/tidak benar dan haditsnya adalah maudhu’.
Anggapan itu tidak bertentangan dengan riwayat Tirmidzi dari hadits Aisyah bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam pergi ke Baqi’ dan Tuhan turun ke langit dunia pada malam Nisfu Sya’ban untuk mengampuni dosa sebanyak jumlah bulu domba dan bulu kambing. Sesungguhnya perkataan tersebut berkisar tentang shalat pada malam itu, tetapi hadits Aisyah ini lemah dan sanadnya munqathi’ (terputus) sebagaimana hadits Ali yang telah disebutkan di atas mengenai malam Nisfu Sya’ban, jadi dengan jelas bahwa shalat malam itu juga lemah dasarnya.
Al-Hafizh Al-Iraqi berkata: Hadits (yang menerangkan) tentang shalat Nisfu Sya’ban maudhu’ dan pembohongan atas diri Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Dalam kitab Al Majmu’, Imam Nawawi berkata: Shalat yang sering kita kenal dengan shalat Raghaib ada (berjumlah) dua belas raka’at dikerjakan antara Maghrib dan Isya’ pada malam Jum’at pertama bulan Rajab; dan shalat seratus rakaat pada malam Nisfu Sya’ban. Dua shalat itu adalah bid’ah dan mungkar. Tak boleh seseorang terpedaya oleh kedua hadits itu hanya karena telah disebutkan di dalam buku Quutul Quluub dan Ihya’ Ulumuddin. Sebab pada dasarnya hadits-hadits tersebut batil (tidak boleh diamalkan). Kita tidak boleh cepat mempercayai orang-orang yang menyamarkan hukum bagi kedua hadits, yaitu dari kalangan Aimmah yang kemudian mengarang lembaran-lembaran untuk membolehkan pengamalan kedua hadits, dengan demikian berarti salah kaprah.
Syaikh Imam Abu Muhammad Abdurrahman Ibnu Ismail al Muqadaasiy telah mengarang sebuah buku yang berharga; Beliau menolak (menganggap batil) kedua hadits (tentang malam Nisfu Sya’ban dan malam Jum’at pertama pada bulan Rajab), ia bersikap (dalam mengungkapkan pendapatnya) dalam buku tersebut, sebaik mungkin. Dalam hal ini telah banyak pengapat para ahli ilmu; maka jika kita hendak memindahkan pendapat mereka itu, akan memperpanjang pembicaraan kita. Semoga apa-apa yang telah kita sebutkan tadi, cukup memuaskan bagi siapa saja yang berkeinginan untuk mendapat sesuatu yang haq.
Dari penjelasan di atas tadi, seperti ayat-ayat Al-Qur’an dan beberapa hadits serta pendapat para ulama, jelaslah bagi pencari kebenaran (haq) bahwa peringatan malam Nisfu Sya’ban dengan pengkhususan shalat atau lainnya, dan pengkhususan siang harinya dengan puasa; itu semua adalah bid’ah dan mungkar tidak ada dasar sandarannya dalam syariat ini (Islam), bahkan hanya merupakan pengada-adaan saja dalam Islam setelah masa hidupnya
para shahabat radhiallahu ‘anhu. Marilah kita hayati ayat Al-Qur’an di bawah:
“Artinya : Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Kuridhoi Islam sebagai agama bagimu.”[Al-Maidah : 3]
Dan banyak lagi ayat-ayat lain yang semakna dengan ayat di atas.
Selanjutnya Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa mengada-adakan sesuatu perkara dalam agama (sepeninggalku), yang sebelumnya belum pernah ada, maka ia tertolak.”
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah pernah bersabda:
“Janganlah kamu sekalian mengkhususkan malam Jum’at daripada malam-malam lainnya dengan suatu shalat, dan janganlah kamu sekalian mengkhususkan siang hariny autk berpuasa daripada hari-hari lainnya, kecuali jika (sebelumnya) hari itu telah berpuasa seseorang di antara kamu.” [Hadits Riwayat. Muslim]
Seandainya pengkhususan suatu malam dengan ibadah tertentu itu dibolehkan oleh Allah, maka bukanlah malam Jum’at itu lebih baik daripada malam-malam lainnya, karena pada hari itu adalah sebaik-baik hari yang disinari matahari? Hal ini berdasarkan hadits-haditsRasulullah yang shahih. Tatkala Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam melarang untuk mengkhususkan shalat pada malam hari itu daripada malam lainnya, hal itu menunjukkan bahwa pada malam lain pun lebih tidak boleh dikhususkan dengan ibadah tertentu, kecuali jika ada dalil shahih yang mengkhususkannya/menunjukkan atas kekhususannya. Menakala malam Lailatul Qadar dan malam-malam blan puasa itu disyariatkan supaya shalat dan bersungguh-sungguh dengan ibadah tertentu. Nabi mengingatkan dan menganjurkan kepada umatnya agar supaya melaksanakannya, beliau pun juga mengerjakannya. Sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih dari Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam, bahwasanya beliau bersabda:
“Artinya : Barangsiapa berdiri (melakukan shalat) pada bulan Ramadhan dengan penuh rasa iman dan harapan (pahala), niscaya Allah akan mengampuni dosanya yang telah lewat. Dan barangsiapa berdiri (melakukan shalat) pada malam Lailatul Qadar dengan penuh rasa iman dan harapan (pahala), niscaya Allah akan mengampuni dosanya yang telah lewat.” [Muttafaqun ‘alaih]
Jika seandainya malam Nisfu Sya’ban, malam Jum’at pertama pada bulan Rajab, serta malam Isra’ Mi’raj diperintahkan untuk dikhususkan dengan upacara atau ibadah tentang, pastilah Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam menunjukkan kepada umatnya atau beliau menjalankannya sendiri. Jika memang hal itu pernah terjadi, niscaya telah disampaikan oleh para shahabat kepada kita; mereka tidak akan menyembunyikannya, karena mereka adalah sebaik-baik manusia dan yang paling banyak memberi nasehat setelah para nabi.
Dari pendapat-pendapat ulama’ tadi anda dapat menyimpulkan bahwasanya tidak ada ketentuan apapun dari Rasulullah ataupun dari para shahabat tentang keutamaan malam Nisfu Sya’ban dan malam Jum’at pertama pada bulan Rajab. Dari sini kita tahu bahwa memperingati perayaan kedua malam tersebut adalah bid’ah yang diada-adakan dalam Islam, begitu pula pengkhususan dengan ibadah tentang adalah bid’ah mungkar; sama halnya dengan malam 27 Rajab yang banyak diyakini orang sebagai malam Isra’ dan Mi’raj, begitu juga tidak boleh dikhususkan dengan ibadah- ibadah tertentu selain tidak boleh dirayakan dengan ibadah-ibadah tertentu selain tidak boleh dirayakan dengan upacara-upacara ritual, berdasarkan dalil-dalil yang disebutkan tadi.
Demikianlah, maka jika anda sekalian sudah mengetahui, bagaimana sekarang pendapat anda? Yang benar adalah pendapat para ulama’ yang menandaskan tidak diketahuinya malam Isra’ dan Mi’raj secara tepat. Omongan orang bahwa malam Isra dan Mi’raj itu jatuh pada tanggal 27 Rajab adalah batil, tidak berdasarkan pada hadits-hadits shahih. Maka benar orang yang mengatakan;
“Dan sebaik-baik suatu perkara adalah yang telah dikerjakan oleh para salaf, yang telah mendapat petunjuk. Dan sehina-hina perkara (dalam agama), yaitu perkara yang diada-adakan berupa bid’ah-bid’ah.”
Allahlah yang bertanggung jawab untuk melimpahkan taufiq-Nya kepada kita dan kaum muslimin semua, taufiq untuk tetap berpegang teguh dengan sunnah dan konsisten di atasnya, serta waspada terhadap hal-hal yang bertentangan dengannya, karena hanya Allah yang terbaik dan termulia.
Semoga shalawat dan salam selalu dilimpahkan kepada hamba-nya dan Rasul-Nya Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam begitu pula atas keluarga dan para shahabat beliau. Amiin.
[Disalin dari kitab Waspada Terhadap Bid’ah Oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Penerjemah Farid Ahmad Oqbah, Riyadh: Ar-Raisah Al-‘Ammah li-IdaratiAl-Buhuts Al-‘Ilmiah wa Al-Ifta’ wa Ad-Da’wah wa Al-Irsyad, 1413 H]
Sumber http://www.almanhaj.or.id
Posted on Juli 21, 2008, in Aqidah, keluarga. Bookmark the permalink. 26 Komentar.
Al ashlu fil asyya’ al ibahah: hukum asal sesuatu adalah boleh. Selagi ada dalil yang menjelaskan haram dan halal. Tolong donk ada gak hadits nabi yang menjelaskan bahwa nabi melarang melakukan amalan nisfu sya’ban seperti baca surat yasin dan lain-lainya. kalo soal pengertian bid’ah saya faham betul. yang saya maksud apakah orang yang membaca surat yasin dimalam nishfu sya’ban karena dianggap bid’ah nantinya bakal masuk neraka! Bukankah amal ibadah seseorang tergantung pada niyatnya. wallohu a’lam
Ustad yang baik..kami melakukannya bukan untuk mengada-ada ritual agama,segi pandang kami dan ustad mungkin berbeda,ustad memang sudah kelas atas dalam memahami agama,kami kelas teri yang mungkin masih haus ilmu agama.tapi kami merasa yakin yang kami lakukan bukan suatu kesalahan fatal,
Toh,yang dilakukan berkumpul bersama silaturahmi,baca al quran,bedzikir berjamaah,apa ini bidah yang anda maksud,kita ingat Alloh kapanpun dimana pun boleh toh,jaman sekarang untuk mengumpulkan orang terus bicara agama susah bung…cuma anda-anda saja yang meberikan sesuatu yang berlebihan,kami tidak merayakan,kami tidak melebih-lebihkan ritual ibadah,hanya kami berharap kepada saudara muslim,di malam nisfu syaban ini ,intropeksi diri,sebagai hamba Alloh apa yang sebenarnya yang harus kita lakukan,anda memponis sesama muslim begitu,semua dianggap bidah,semua dianggap sesat,apa yang dilakukan orang dan berkumpul di malam nisfu syaban cuma ingin dekat dengan Alloh,,,ini anggap anda sesat..Massya Alloh.
Pak Ustadz saya mau tanya nih karena saya awam tentang Agama,
Orang yang nonton TV yang nota bene tempatnya propaganda orang Yahudi sama yang baca Yasin,Dzikir di Masjid2 pada malam Nisfu Sa’ban bagusan Mana?
toh yang d lakukan pada malam nisfu sya’ban itukan seperti malam-malam yang lain: membaca qur’an, membaca doa, sholat sunnah!!!lha kok malah di bid’ah-bid’ahkan…!ini bagaimana? apakah nabi pernah melarang baca qur’an, sholat? bukankah malah diperintahkan? yang penting esensi dengan apa yang kita laksanakan..!saya pikir dar ul mafasid muqoddimun ‘ala jalbil masholih..!
bagus artikelnya….
terimakasih
anda mengatakan “Misalnya adakan kajian rutin setiap minggu sekali membahas masalah agama” (mengkaji agama kan ibadaha juga kan) apakah Nabi juga memerintahkan untuk kajian rutin seminggu sekali kan juga tidak kan….jadi dengan pernyataan Saudara juga bisa berkategori bidah. yang penting kita beramal untuk mendekatkan diri kepada Allah itu bisa dilakukan termasuk dalam malam nisfu sya’ban.
Demikian.
heeemmmm…
sebelumnya, saya mau bilang bahwa saya adalah orang awam dalam hal agama.
Tapi kalo liat dari penjelasan Ustadz Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz… bisa diterima akal kok…
dari penjelasan ustadz yang bisa saya tangkap (mohon diperbaiki jika ada yang salah)…
jadi, kalo urusannya menyangkut ibadah mendekatkan diri kepada Alloh, kita harus benar2 sesuai dengan yang sudah digariskan dalam AlQur’an dan sunnah ya? hal sekecil apapun itu?
trus, kalo gak ada diperintahkan dalam Qur’an dan Sunnah, hukumnya bukan ibadah? dan gak dapat pahala apa-apa ya? walaupun itu sesuatu yang baik?
kalo bagi orang2 awam kan taunya ikut aja ustadz… apa yang dipikirnya baik n gak dosa, ya diikuti…
gak kepikiran cari kebenarannya dulu…
kasian dong yang gak tau apa-apa…. @.@
bid’ah ada yg baik ada yg tdk baik,klo menurut saya sah2 saja org berkumpul gtu…nafsi2 aja,ntar jg ketahuan yg mana salah…klo terlalu ngurusin masalah org lain,brarti dia blu bner ngurus dirinya…hehe
kalau boleh sedikit nimbrung dlm masalah nisfu sya’ban, menrut pandangan saya yang sangat awam dan mengenal Islam sebagai ajaran sejak lahir, islam adalah agama dengan ajaran yang paling asyik karena banyak membuka peluang untuk berbeda pendapat, mulai dari yg furu’iyyah hingga yg ashliyyah…..
tapi disekitar kita(maaf kita bukan bicara di arab,ini tanah tumpah darahku Indonesia lho), sejak zaman walisongo yang alim(barangkali kadar kealimannya bisa disejajarkan dengan Syaikh Al-Baz) itu memang sangat aspiratif terhadap budaya lokal,sepanjang tidak bertentangan dengan nash,why not??
sebelumnya mohon maaf, barakallahu fikum aydon
assalamualaikum,
pa ustadz.. saya setuju dengan pa ustadz, meskipun saya awam mengenai islam,. tapi saya selalu mencoba menggali dan mendalami islam sesuai ahlus sunnah wal jamaah,. yaitu islam yang berpegang teguh pada Al-quran dan Hadits Rosul yang shohe.. jadi apabila Rosulluloh mengatakan tidak ya tidak.. Rosullulloh menerangkan apa yang ada dalam Al-quran kepada umatnya apabila mereka tidak paham dengan maksud dari ayat tersebut,. dengan melalui lisanya Rosullulloh menjelaskan (Al-Hadits),.. jadi beribadah lah kita sesuai yang di perintahkan ALLAH SWT dan mengikuti adab Rosullulloh SAW. wassallam.
sy juga awam agama, tapi ingin mengetahui lebih jauh ttg bid’ah… terutama tentang sholat tarawih berjamaah yang dikatakan bid’ah pertama yang dilakukan sahabat nabi, penyusunan alquran juga dikatakan bid’ah
assalamualaikum, dr awal sampai akhir sya membaca coment dari pembaca, dan harapan saya mendapatkan coment yang masuk dalam pikiran saya bahwa nisfu itu diperbolehkan ternyata satupun g ada comen yg sesuai dgn dalil, dan sunnah,, dan saya tambah yakin bahwa nisfu sya’ban adalah bid’ah, dan jgn kita merasa lebih tahu dari nabi, hadakumullah
Salut kepada Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz sungguh luar biasa pengetahuan ilmunya sampai sampai tiada sanggahan yang tak terjawab olehnya.
Barokallahu fik akhi :)
Ikhwan sekalian, sekalipun kita berbeda pendapat mari kita terus berprinsip bahwa dalil yang shohih lah yang kita pegang. Asalkan niat kita untuk mencari kebenaran hakiki Insya Allah hati kita tetap dingin karena niat kita mencari ilmu karena Allah SWT bukan nafsu pribadi atau golongan, wallahua’lam.
Assalamualaikum
Pak Ustadz terimakasih atas penjelasannya.
Wassalam
Eva Rasyad
Alhamdulillah… dengan membaca banyak ilmu yang saya dapatkan, ternyata ilmu agama saya sangat minim sekali. Waktu saya banyak yang hilang begitu saja… ternyata ALLOH SWT masih memberikan waktu kepada saya untuk belajar agama secara kaffah. Terimakasih ya ALLOH atas hidayah dan nikmat Iman serta nikmat Islam yang Engkau berikan kepada saya. Baarokallohufiikum
jazakallah khair atas penjelasannya
Semoga Allah selalu menunjuki kita jalan yang lurus. Sangat perlu bagi kita untuk menambah ilmu, supaya tidak buta dengan kebenaran. Seharusnya setiap malam di bulan sya’ban ini kita isi dengan ibadah. Bukan hanya nisfu sya’ban saja, trus hari selanjutnya ndak ada lagi beribadah. Saya rasa tidak ada manfaatnya. Wallahu a’lam
…Terima kasih ustadz…. semoga ustadz dan kita semua kaum muslimin selalu dilindungi Allah SWT…. semoga perbedaan2 yang ada tidak menjadikan kita terpecah belah……. semoga artikel2 keagamaan seperti ini bisa menjadi bahan kajian dan tambahan pengetahuan bagi kita yang awam… shg dapat meningkatkan ilmu dan pemahaman kita dalam beribadah kepada Allah SWT…. amiin ya robbal ‘aalamii….
Penjelasan yang cukup bagus, smoga saudara kita sesama muslim smakin terbuka hatinya dalam menjalankan perintah agama,tidak asal mengikuti tanpa dimengerti,smoga Ustj diberikan kekuatan untuk terus menyampaikan kebenaran tanpa bercampur dengan yang bid’ah dalam ibadah
Syukron ustadz atas penjelasannya …
Pak Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz…
Saya malu, sedih senang dll membaca tulisan bapak ini.
Saya keluarga muslim dilahirkan diazankan tapi hingga kini saya blm mengerti dalam dalam urusan agaman saya sendiri..
Menurut saya yang masih bodoh dalam agama ini. Saya setuju dengan bapak Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz.
Sering kali kita serba me LOGIKA kan hal2 ibadah..padahal semua sudah di atur..kitanya aja yg gak ngerti TAPI SOK TAU.
malah saya berencana untuk mengajak keluarga besar saya mengadakan nisfu syakban beberapa hari sesudahnya..(krn mlm itu saya tidak tahu ).
apakah saya boleh melakukan hal ini atau melakukan ibadah bca yasin,sholat jamaah dan silahturahmi saja pak ?
Dan buat saya pribadi jika ada yang lebih pandai dari kita ya kita inggal ikut saja..dari beberapa penjelasan diatas jelas koq tidak ada maksud lain selain meluruskan kita yg sebelumnya tidak mengerti.
Selain kita sambil belajar agama ini juga bisa di jadikan awal belajar hal apa saja semaksimal mungkin ada dasarnya..seperti dalam hal tehnik bidang saya.
ada dasar yg kuat agar tidak ada kesalahan fatal..maaf bidang saya tehnik..
semoga hal baik ini dapat di terima dengan baik oleh yang lainnya.
salam,
umar faisal
good. kesimpulannya tidak ada ibadah selain yang telah ditetapkan syariat melalui Alquran dan Sunah.untuk pak umar faisal maaf ada koreksi sedikit dari saya ,Hadis tentang mengazankan anak yg baru lahir adalah dhoif Ziddan sangat lemah sehingga haram untuk diamalkan, semoga tradisi ini tidak bapak teruskan ke anak bapak yg baru lahir.SIP
Ping-balik: Hukum Upacara Peringatan Malam Nisfi Sya’ban (Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz) « Blog_e Yahya Asnawi